Sudah kira-kira 10 menit aku berdiri menunggu bus umum, hampir setiap pagi aku menunggunya di tempat ini.

Aku Tina, siswi sebuah sekolah menengah atas negeri di Surabaya. Beginilah rutinitasku setiap pagi, berangkat ke sekolah dengan bus umum karena ayahku hanya seorang guru bantu di sekolah dasar sementara ibuku seorang pedagang sayur keliling sehingga mereka tidak sanggup memberiku kendaraan bahkan mengantarku ke sekolah pun tidak sempat. Dalam hati sembari menunggu bus, aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa nasibku jauh berbeda dengan teman di sekolahku. Setiap pagi mereka berangkat ke sekolah dengan kendaraan pribadinya, sepeda motor atau bahkan mobil mewah. tidak jarang pula diantara mereka yang selalu diantar oleh supirnya dengan mobil buatan luar negeri. waaah, aku merasa iri, sungguh iri. tak henti aku memikirkan malangnya nasibku yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. ratapanku ini berlanjut hingga aku melihat bus datang dari arah kejauhan. aku melupakan anganku sejenak dan segera melambaikan tangan agar bus berhenti dan membiarkan aku ikut dengannya.


Akhirnya bus yang kunantikan datang juga, dan aku pun segera naik sambil menengok sana sini mencari tempat duduk kosong, tapi sayangnya bus ini sudah terlalu penuh sampai-sampai aku tidak bisa menengok lebih dalam lagi untuk mencari bangku kosong. tampaknya pagi ini aku kesiangan dan terpaksa harus rela berdesak-desakan dengan penumpang lain yang juga kebanyakan adalah siswa-siswa. yaaaah, bergelantungan dekat pintu bus.

wuuuuiiiihh, penuhnya !!

kakiku terinjak sana sini, digencet banyak kaki, sungguh pagi yang menyedihkan.

tak berapa lama kemudian, serombangan siswa turun di depan sebuah sekolah menengah..aku segera berlari ke dalam dan segera duduk di sebuah bangku yang baru saja diduduki seorang siswa yang baru saja turun. Walau keadaan masih lumayan sesak tapi tetap kupaksakan agar bisa duduk karena kakiku sudah sakit dan sepatu kesayanganku ini sudah mulai kotor.


Aku menghela nafas sambil membersihkan sepatuku dan menyapu keringat di wajahku dengan sehelai tissue. Beberapa saat kemudian aku kembali teringat dengan hal yang kupikirkan saat menunggu bus. Aku terus berlalu dalam pikiran yang menyesalkan nasibku ini,terlintas dalam benakku ingin sekali membeli handphone. Di sekolah boleh dikatakan aku adalah siswa yang paling miskin, bahkan handphone yang kini sudah memasyarakatpun orang tuaku belum mampu untuk membelikannya untukku. Hanya satu hp di keluargaku yang di pegang oleh ayah dan digunakan hanya untuk hal-hal yang penting.


uuuuuhhhh, aku terus menghayati keadaanku ini.


Terlintas sebuah pemandangan dari luar jendela, aku melihat seoarang anak kecil berdiri dengan sebuah baju lusuh,tanpa alas kaki,wajah kusam,dan dengan sebuah gelas plastik di tangan kanannya sedang berdiri di tepi jalanan. Tapi aku tidak sempat berfikir lebih jauh lagi karena pemandangan seperti ini sudah biasa kulihat hampir setiap pagi. Beberapa saat kemudian bus berhenti karena ada lampu merah, kembali aku diperlihatkan dengan pemandangan yang tidak jauh berbeda. Seorang anak perempuan seusiaku tampak sedang menyanyi alakadarnya dengan hanya sebuah gitar tua sebagai alat musiknya pada sebuah mobil mewah yang ada di samping bus ini. Hingga bus kembali melaju aku belum tersadar dengan apa yang sedang aku lihat. Sampai tiba saatnya aku harus turun dari bus dan berjalan menuju sekolah. Di pintu gerbang depan sekolahku, terlihat seorang wanita paruh baya sedang menjual nasi rames buatannya sendiri. Aku terus memperhatikannya, karena hal itulah wanita yang tampaknya seusia dengan ibuku itu mendekatiku dan menawarkan dagangannya padaku.


"Non, mari beli nasi rames buatan ibu. Tidak mahal ko' cuma 2rbu. Ayo non beli ya." kata wanita itu.

"Maaf bu, saya sudah sarapan tadi di rumah", jawabku.

"oh, ya sudah terima kasih non", jawab wanita itu.

Setelah itu dia berbalik dan kembali menawarkan pada orang lain. Tanpa sadar, aku memanggilnya.

"Ibu !!", teriakku.


Penjual itu menengok dan kembali menghampiriku. "Iya non, ada apa? apa mau beli?.

"Tidak bu,aku mau bertanya. eeemmm,ibu punya anak?",tanyaku padanya.

"Iya punya, anak ibu ada 3 orang salah satunya ada yang seusia non dan sekarang juga sedang sekolah",jawabnya.

"ooooooh, dimana sekolahnya bu?".

"alhamdulillah di SMA 1", jawabnya.


Dalam hati aku benar-benar terkejut, ko' bisa yaa penjual seperti ibu ini yang tampaknya lebih miskin dari keluargaku bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang terkenal dengan kepintaran siswa dan prestasi yang merajai sekolah lainnya dan mahal pula.

Aku sungguh heran, sangat tidak kusangka. Tapi dalam hati aku masih penasaran, jangan-jangan anaknya mendapat orang tua asuh yang membiayayainya atau jangan-jangan suaminya orang kaya dan ibu ini pura-pura miskin. Hal ini menelisikku untuk bertanya lebih jauh.


" Maaf ibu, apakah ibu membiayayai sendiri semua anak-anak ibu?, tanyaku padanya.

Ibu itupun tersenyum dan menjawab,"Non, ibu ini seorang janda, suami ibu sudah meninggal 8 tahun lalu. Ibu berkerja keras untuk menyekolahkan semua anak ibu. Tapi syukurlah anak pertama ibu sudah bekerja jadi bisa lebih meringankan beban keluarga."

Aku terkejut untuk kedua kalinya. Sungguh aku baru melihat seseorang wanita yang begitu tangguh. seketika aku bertanya untuk kesekian kalinya,"Anak ibu kerja dimana?.

"Di Amerika".

Apa???!!!! waaah,benarkah? dalam pikiranku pasti anak ibu ini seorang TKI. Tapi ibu itu kembali berkata,"Anak ibu mendapat beasiswa dari kampusnya untuk kuliah di Amerika dan sekarang sudah lulus dan bekerja jadi pegawai di sebuah bank di sana".


Aku benar-benar terperanjat, terkagum-kagum dengan perjuangan wanita yang ada di hadapanku. Tubuhku lemas serasa tak bertulang,dan jantungku serasa berdetak tak karuan. Seakan-akan aku baru tersadar apa yang sudah diperlihatkan padaku di pagi ini, aku melihat berbagai keadaan dimana banyak orang ternyata sedang berjuang untuk hidupnya dan keluarganya. Seorang pengemis kecil di pinggir jalan tadi, seorang perempuan seusiaku yang mengamen dan seorang janda yang bekerja keras untuk ketiga anaknya. Sambil berjalan menuju ruang kelas, aku sungguh merasa malu dengan diriku sendiri. Banyak orang di luar sana yang lebih menderita daripada aku,bahkan tidak bisa sekolah, sementara aku terus meratapi nasib. Aku masih punya orang tua, masih bisa makan pagi, dan masih bisa sekolah dan tentunya boleh dibilang aku lebih beruntung dibanding mereka yang baru kulihat.

oooohhh, Ya Allah ampuni aku yang tidak bersyukur padamu. Ucapku dalam hati,sambil terus berjalan menuju kelas.


Dan akhirnya pagi ini aku baru terbangun dan baru sadar ternyata aku bukanlah orang yang paling menderita dan yang seharusnya aku lakukan adalah bersyukur, bekerja keras, belajar, menghargai orang tua agar aku bisa berprestasi seperti anak sang panjual nasi rames yang bisa sekolah di Amerika itu.

Dan untuk pagi ini, aku menyebutnya GOOD MORNING!!!,bukan selamat pagi tapi aku mengartikannya pagi yang baik, pagi yang telah menyadarkanku..hehehe..^_^'